Manaqib Tentang Habib Hasan bin Muhammad Al-Haddad
Habib Hasan bin Muhammad Al-Haddad (mbah Priuk/Priok) lahir di di
Ulu, Palembang, Sumatera selatan, pada tahun 1291 H / 1870 M. Semasa
kecil beliau mengaji kepada kakek dan ayahnya di Palembang. Saat remaja,
beliau mengembara selama babarapa tahun ke Hadramaut, Yaman, untuk
belajar agama, sekaligus menelusuri jejak leluhurnya, Habib Abdullah bin
Alwi Al-Haddad, Shohib Ratib Haddad, yang hingga kini masih dibaca
sebagian besar kaum muslimin Indonesia. Beliau menetap beberapa tahun
lamanya, setelah itu kembali ke tempat kelahirannya, di Ulu, Palembang
Ketika petani Banten, dibantu para Ulama, memberontak kepada kompeni
Belanda (tahun 1880), banyak ulama melarikan diri ke Palembang; dan
disana mereka mendapat perlindungan dari Habib Hasan. Tentu saja
pemerintah kolonial tidak senang. Dan sejak itu, beliau selalu diincar
oleh mata-mata Belanda.
Pada tahun 1899, ketika usianya 29 tahun, beliau berkunjung ke Jawa,
ditemani saudaranya, Habib Ali Al-Haddad, dan tiga orang pembantunya,
untuk berziarah ke makam Habib Husein Al Aydrus di Luar Batang, Jakarta
Utara, Sunan Gunung Jati di Cirebon dan Sunan Ampel di Surabaya. Dalam
perjalanan menggunakan perahu layar itu, beliau banyak menghadapi
gangguan dan rintangan. Mata-mata kompeni Belanda selalu saja
mengincarnya. Sebelum sampai di Batavia, perahunya di bombardier oleh
Belanda. Tapi Alhamdulillah, seluruh rombongan hingga dapat melanjutkan
perjalanan sampai di Batavia.
Dalam perjalanan yang memakan waktu kurang lebih dua bulan itu,
mereka sempat singgah di beberapa tempat. Hingga pada sebuah perjalanan,
perahu mereka dihantam badai. Perahu terguncang, semua perbekalan
tumpah ke laut. Untunglah masih tersisa sebagian peralatan dapur, antara
lain periuk, dan beberapa liter beras. Untuk menanak nasi, mereka
menggunakan beberapa potong kayu kapal sebagai bahan bakar. Beberapa
hari kemudian, mereka kembali dihantam badai. Kali ini lebih besar.
Perahu pecah, bahkan tenggelam, hingga tiga orang pengikutnya meninggal
dunia. Dengan susah payah kedua Habib itu menyelamatkan diri dengan
mengapung menggunakan beberapa batang kayu sisa perahu. Karena tidak
makan selama 10 hari, akhirnya Habib Hasan jatuh sakit, dan selang
beberapa lama kemudian beliaupun wafat.
Sementara Habib Ali Al-Haddad masih lemah, duduk di perahu bersama
jenazah Habib Hasan, perahu terdorong oleh ombak-ombak kecil dan ikan
lumba-lumba, sehingga terdampar di pantai utara Batavia. Para nelayan
yang menemukannya segera menolong dan memakamkan jenazah Habib Hasan.
Kayu dayung yang sudah patah digunakan sebagai nisan dibagian kepala;
sementara di bagian kaki ditancapkan nisan dari sebatang kayu sebesar
kaki anak-anak. Sementara periuk nasinya ditaruh disisi makam. Sebagai
pertanda, di atas makamnya ditanam bunga tanjung. Masyarakat disekitar
daerah itu melihat kuburan yang ada periuknya itu di malam hari selalu
bercahaya. Lama-kelamaan masyarakat menamakan daerah tersebut Tanjung
periuk. Sesuai yang mereka lihat di makam Habib Hasan, yairtu bunga
tanjung dan periuk.
Konon, periuk tersebut lama-lama bergeser dan akhirnya sampai ke laut.
Banyak orang yang bercerita bahwa, tiga atau empat tahun sekali, periuk
tersebut di laut dengan ukuran kurang lebih sebesar rumah. Diantara
orang yang menyaksikan kejadian itu adalah anggota TNI Angkatan Laut,
sersan mayor Ismail. Tatkala bertugas di tengah malam, ia melihat
langsung periuk tersebut.
Karena kejadian itulah, banyak orang menyebut daerah itu : Tanjung Periuk.
Sebenarnya tempat makam yang sekarang adalah makam pindahan dari makam asli. Awalnya ketika Belanda akan menggusur makam Habib Hasan, mereka tidak mampu, karena kuli-kuli yang diperintahkan untuk menggali menghilang secara misterius. Setiap malam mereka melihat orang berjubah putih yang sedang berdzikir dengan kemilau cahaya nan gemilang selalu duduk dekat nisan periuk itu. Akhirnya adik Habib Hasan, yaitu Habib Zein bin Muhammad Al-Haddad, dipanggil dari Palembang khusus untuk memimpin doa agar jasad Habib Hasan mudah dipindahkan. Berkat izin Allah swt, jenazah Habib Hasan yang masih utuh, kain kafannya juga utuh tanpa ada kerusakan sedikitpun, dipindahkan ke makam sekarang di kawasan Dobo, tidak jauh dari seksi satu sekarang.
Salah satu karomah Habib Hasan adalah suatu saat pernah orang
mengancam Habib Hasan dengan singa, beliau lalu membalasnya dengan
mengirim katak. Katak ini dengan cerdik lalu menaiki kepala singa dan
mengencingi matanya. Singa kelabakan dan akhirnya lari terbirit-birit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar